Kuberi tahu sebuah rahasia, aku dikutuk.
***
Seorang gadis berjalan ke arahku–sedang memegang dua americano yang masih hangat. Beberapa detik kemudian ia akan menabrak seorang pria di depanku. Americano itu jatuh, baju biru langitnya tercemar cipratan noda hitam kopi. Aku menolongnya.
Adegan itu terjadi, persis, beberapa menit setelah aku melihatnya.
“Oh, terima kasih!” ucapnya melihatku yang mengulurkan sapu tangan untuk membantu menghapus noda hitam di bajunya.
“Tidak perlu. Toh, aku membawa sapu tangan ini untukmu.” Serius. Aku bukan orang yang sering membawa sapu tangan kemana-mana. Itulah kenapa tisu diciptakan. Untuk orang-orang (pelupa) sepertiku.
Gadis itu mengernyit, tak mengerti apa yang kumaksud. Ia tersenyum, “Ehm! Apa kita pernah bertemu?”
Pernah, dalam ingatan masa depan tak berkesudahan.
“Kurasa.. belum! Haha tentu saja belum pernah!”
“Ya, tentu saja begitu.” ucapnya sambil tersenyum, memamerkan lesung yang menghias kedua pipinya. “Ngomong-ngomong, aku Alene, kau?”
“….”
“Terima kasih bantuannya … Aku akan mengembalikan sapu tanganmu nanti, jadi boleh aku minta nomor telponmu?”
Pertama kali aku bertemu dengannya aku sudah tahu bahwa ia akan menjadi kekasihku. Seolah takdir dan kebetulan selalu berada di tangan gadis itu. Meski sebenarnya aku tak pernah menganggap hal itu menjadi sesuatu yang spesial. Karena, ya, aku sudah tahu.
Dari setiap ingatanku tentangnya, tak ada satu pun hal yang membuatku tidak bahagia. Meski begitu, ada satu hal yang selalu ingin ku biarkan keluar dari jalur roda kehidupan yang namanya takdir dari dirinya. Setidaknya begitu usaha yang ingin kulakukan.
“…tentu saja.” Aku mengetikkan nomor teleponku di smartphone miliknya.
“Terima kasih sekali lagi. Aku akan segera menghubungimu!”
Begitu jalan kami berpisah. Aku kembali ke rutinitasku. Kembali ke kantor dan mengerjakan berbagai hal yang membuatku penat.
***
Satu hari setelahnya, kami bertemu lagi. Ia menghubungiku malam hari setelah kejadian tadi siang. Aku mengiyakan ajakan temunya. Kami berjanji bertemu di kafe ia membeli americano kemarin. Dia seperti orang kantoran kebanyakan. Begitu menyukai kopi, entah apa alasannya. Sejak dalam ingatanku pun, dia selalu membeli kopi di tiap pertemuan kami. Aku sendiri tak begitu suka kopi. Selain, fakta bahwa aku tak bisa minum kopi, aku lebih suka sesuatu yang manis seperti es krim.
Aku hampir sampai di sebuah kafe dengan dinding warna hijau pastel. Semerbak kopi merasuk di hidungku begitu aku membuka pintu. Aku mencari Alene di sekitar. Agaknya, dia belum sampai.
Kuputuskan duduk di bangku dekat jendela. Sambil mengecek beberapa pesan yang masuk di ponsel. Jaman sekarang, ponsel jadi tak kalah sibuk dengan pikiran orang-orang. Ingatan itu kembali muncul dan aku tau Alene akan membuka pintu kafe beberapa detik kemudian.
“Hai! Maaf terlambat, padahal aku yang minta ketemu.” Alene tersenyum, semanis ia di ingatanku. Ia segera mengambil duduk di depanku. “Oh, kau belum pesan apa-apa?” tanyanya sembari beranjak dari tempat duduknya.
“Ah, iya. Tidak usah. Aku cuma mau ambil sapu tanganku.”
Ia mengernyit, kembali duduk di hadapanku. “Kau buru-buru? Maaf, harusnya aku nggak terlambat.”
“Bukan begitu.” Aku menatap wajahnya, maaf dan kekecewaan bercampur dalam ekspresinya. “Biar kupesankan.” Aku beranjak dari dudukku menuju kasir. Segelas latte segera mendarat di meja pesanan. Aku kembali ke bangku tempat Alene menunggu. Matanya membelalak terkejut, dan aku tau alasannya.
“Bagaimana kau tau aku suka latte?”
“Tau saja.”
“Oh, aku hampir lupa, sapu tanganmu.” Sapu tangan itu berpindah ke tanganku. “Terima kasih.” Ia tersenyum sekali lagi.
“Ya. Itu bukan suatu hal yang bisa membuatmu berterimakasih.” Aku menyimpan sapu tangan itu di saku jasku. “…dan, sekalian saja aku mau bicara denganmu.” Aku menunggu reaksi darinya. Alene mengangguk. “Aku ingin mengakhiri pertemuan kita, hari ini dan ke depannya. Apapun perasaan yang mungkin saja tumbuh terhadapku, kau harus melupakannya, Ale.” Aku menelan ludah, dari sebelum bertemu dengannya hingga sekarang, ini hal yang selalu kupikirkan masak-masak. “Aku ingin kita putus.”
Aku beranjak dari tempat dudukku, dan keluar dari kafe. Aku bisa melihat keterkejutannya sesaat sebelum aku pergi. Tapi, tak masalah. Aku tak ingin membuatnya menderita karena diriku. Setidaknya, aku memutuskan untuk membawa dirinya bersamaku.
***
Alene dan aku akan merayakan hari ulang tahun pernikahan kami yang ke-3. Masih belum begitu lama memang, tapi aku selalu merasa bahagia bersamanya. Hari ini aku menuruti permintaannya untuk bertemu di kafe saat pertama kali kami bertemu.
Berhubung kantor kami berseberangan, aku memutuskan bertemu dengan Alene di lampu merah dekat kantornya. Aku mampir membeli keik di toko beberapa meter dari kantorku. Alene suka sekali keik dari toko itu, jadi tadi dia berpesan padaku untuk membelinya.
Aku berdiri di perempatan, sambil berusaha menelepon Alene. Siapa sangka, dia sudah menunggu di seberang sana. Aku melambaikan tangan, Alene membalas. Bahkan di remang-remang cahaya lampu, aku bisa melihat senyumnya sangat manis.
“Tunggu disitu. Aku akan kesana.” Sesaat setelah teleponku dijawab Alene.
“Iya, aku cinta kamu.”
“Aku juga, Ale.”
Lampu menghijau, aku mempercepat langkahku menuju Alene. Bahagiaku membuncah setiap akan berada di dekatnya. Sepersekian detik kemudian, yang terjadi tak pernah kuduga. Tubuhku terlempar, yang kudengar hanya teriakan Alene. Aku memaksa tubuhku berdiri. Kemudian, duniaku terasa runtuh. Aku melihat tubuh Alene bersimbah darah di depanku.
***
Aku tercekat. Napasku tak beraturan. Dadaku sesak. Ingatanku selalu merangsek masuk tanpa aba-aba. Juga, ingatanku bersama Alene yang membuatku selalu terbangun saat aku mencoba tidur.
***
Kuberi tahu satu rahasia, aku dikutuk. Aku melupakan semua kejadian yang sudah terjadi.
Thi story owned by me. Inspired by “Living life backwards”on reddit.