“Kenangan jauh lebih kuat daripada yang kauduga.” -Polisi Kenangan
Hujan mengguyur di Minggu sore. Entah kenapa hujan selalu membawaku pada sebuah perasaan melankolis, pun kenangan akan masa yang telah lalu. Aku terdiam di kamar --seperti biasa, membuka kembali lembaran ingatan yang tercerabut disana-sini karena jujur aku bukan pengingat yang baik. Saat banyak orang bisa mengingat banyak hal di masa kecilnya, aku hanya mengingat sedikit. Kadang, ingatan yang kuingat juga masih kusangsikan kebenarannya. Seolah ia tercampur dengan imajinasiku sendiri.
Aku tak tahu kenapa, tapi kupikir karena dulu aku seringkali terjatuh.
Bicara soal "A Memory", setelah membacanya aku berpikir kisah apa yang harus kutulis. Haruskah menulis sebuah fiksi atau salah satu dari kenangan di hidupku? Lama berpikir, hingga sahabatku, Chagi, kupanggil dia begitu, dia membawaku kembali bercerita tentang sosok yang selama ini selalu kami inginkan kehadirannya kembali dalam hidup kami. Bagi Chagi, itu adalah Ibu. Bagiku, itu adalah Bapak.
----
"Pak, laperr~" ucapku yang saat itu masih duduk di bangku sekolah dasar sehabis pulang sekolah. Tak lama berselang, bapak sudah membawa sepiring nasgor putih khas buatannya dan es teh dengan ekstra gula. Walaupun bapak kerap kali ditegur ibu karena gulanya kebanyakan, tetap saja bapak selalu membuatnya seperti itu. Aku? Tentu saja suka! Bahkan aku akan memakan gula yang ada di bawah gelas jika tidak tercampur merata.
Sore tiba, aktivitasku saat itu adalah mengaji di TPA di desa kami. Kukayuh sepedaku bersama temanku dan bersenda gurau. Tapi, bapak selalu disana. Mengawasiku, dan menjemputku ketika pulang. Walaupun kami menaiki kendaraan masing-masing. Aku mengayuh sepeda dan bapak mengikutiku dari belakang dengan motornya.
Malam hari adalah waktu yang kuhabiskan bersama bapak. Bapak akan menemaniku saat hendak tidur dan bercerita banyak hal. Tentang aku di saat kecil, tentang lagu yang selalu bapak nyanyikan, tentang sekolahku, dan banyak hal lain. Hingga aku tertidur.
Tak banyak kenangan yang kulalui bersama bapak saat pagi menjelang. Saat bapak masih kerja di lapangan, subuh saja bapak sudah berangkat, saat aku belum benar-benar bangun. Meski saat bapak dipindahtugaskan ke kantor dan tidak perlu lagi berangkat subuh, kami hanya makan bersama dan berangkat ke aktivitas masing-masing.
Kupikir rutinitas ini akan berlangsung sampai aku dewasa, tapi saat Kelas 3 SMA tiba-tiba bapak sakit. Rutinitas itu berubah. Rutinitas yang sama sekali tak pernah kubayangkan. Melalui hari dari rumah-sekolah-rumah sakit hingga bapak bisa kembali ke rumah. Tapi, rutinitasku tak kembali seperti dulu. Entah berapa kali aku menyalahkan diri.
Saat bapak pergi, aku seolah dipaksa oleh keadaan. Dipaksa dewasa, seolah tak ada sandaran yang bisa kupunya. Aku selalu menangis atas apa saja yang belum bisa kulakukan untuknya. Sekarang, aku kerapkali berpikir di berbagai jalan kehidupan yg kuhadapi saat ini, bagaimana rasanya kalau masih bisa berbagi lagi dengan bapak?
Hujan mengguyur di Minggu sore. Entah kenapa hujan selalu membawaku pada sebuah perasaan melankolis, pun kenangan akan masa yang telah lalu. Aku terdiam di kamar --seperti biasa, membuka kembali lembaran ingatan yang tercerabut disana-sini karena jujur aku bukan pengingat yang baik. Saat banyak orang bisa mengingat banyak hal di masa kecilnya, aku hanya mengingat sedikit. Kadang, ingatan yang kuingat juga masih kusangsikan kebenarannya. Seolah ia tercampur dengan imajinasiku sendiri.
Aku tak tahu kenapa, tapi kupikir karena dulu aku seringkali terjatuh.
Bicara soal "A Memory", setelah membacanya aku berpikir kisah apa yang harus kutulis. Haruskah menulis sebuah fiksi atau salah satu dari kenangan di hidupku? Lama berpikir, hingga sahabatku, Chagi, kupanggil dia begitu, dia membawaku kembali bercerita tentang sosok yang selama ini selalu kami inginkan kehadirannya kembali dalam hidup kami. Bagi Chagi, itu adalah Ibu. Bagiku, itu adalah Bapak.
----
"Pak, laperr~" ucapku yang saat itu masih duduk di bangku sekolah dasar sehabis pulang sekolah. Tak lama berselang, bapak sudah membawa sepiring nasgor putih khas buatannya dan es teh dengan ekstra gula. Walaupun bapak kerap kali ditegur ibu karena gulanya kebanyakan, tetap saja bapak selalu membuatnya seperti itu. Aku? Tentu saja suka! Bahkan aku akan memakan gula yang ada di bawah gelas jika tidak tercampur merata.
Sore tiba, aktivitasku saat itu adalah mengaji di TPA di desa kami. Kukayuh sepedaku bersama temanku dan bersenda gurau. Tapi, bapak selalu disana. Mengawasiku, dan menjemputku ketika pulang. Walaupun kami menaiki kendaraan masing-masing. Aku mengayuh sepeda dan bapak mengikutiku dari belakang dengan motornya.
Malam hari adalah waktu yang kuhabiskan bersama bapak. Bapak akan menemaniku saat hendak tidur dan bercerita banyak hal. Tentang aku di saat kecil, tentang lagu yang selalu bapak nyanyikan, tentang sekolahku, dan banyak hal lain. Hingga aku tertidur.
Tak banyak kenangan yang kulalui bersama bapak saat pagi menjelang. Saat bapak masih kerja di lapangan, subuh saja bapak sudah berangkat, saat aku belum benar-benar bangun. Meski saat bapak dipindahtugaskan ke kantor dan tidak perlu lagi berangkat subuh, kami hanya makan bersama dan berangkat ke aktivitas masing-masing.
Kupikir rutinitas ini akan berlangsung sampai aku dewasa, tapi saat Kelas 3 SMA tiba-tiba bapak sakit. Rutinitas itu berubah. Rutinitas yang sama sekali tak pernah kubayangkan. Melalui hari dari rumah-sekolah-rumah sakit hingga bapak bisa kembali ke rumah. Tapi, rutinitasku tak kembali seperti dulu. Entah berapa kali aku menyalahkan diri.
Saat bapak pergi, aku seolah dipaksa oleh keadaan. Dipaksa dewasa, seolah tak ada sandaran yang bisa kupunya. Aku selalu menangis atas apa saja yang belum bisa kulakukan untuknya. Sekarang, aku kerapkali berpikir di berbagai jalan kehidupan yg kuhadapi saat ini, bagaimana rasanya kalau masih bisa berbagi lagi dengan bapak?
I am sorry, Dad. I miss you.
“Kenangan jauh lebih kuat daripada yang kauduga.”
It is a happiness but also hurt me.
“Kenangan jauh lebih kuat daripada yang kauduga.”
It is a happiness but also hurt me.
---
I just watched him as he walked along
And tears just formed
So I just cried because I hated myself for not knowing all this time
Because he always pretended to be calm and smiled
Because he always pretended to be strong in front of me
I didn’t even think of it
- Father, BTOB